JUAL BELI MATA UANG RUSAK DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
Abstract
Tulisan ini bertujuan membahas hukum Islam tentang jual beli mata uang rusak yang sering didapati dilakukan oleh sebagian masyarakat. Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif di mana sumber primernya didapatkan berdasarkan observasi dan studi kepustakaan. Penulis mengumpulkan data-data primer dari observasi, buku, kitab, artikel jurnal, dan lainnya. Data-data yang diperoleh selanjutnya diverifikasi, dideskripsikan dalam pembahasan, dan dianalisis untuk menghasilkan kesimpulan. Tulisan ini menemukan bahwa praktik jual beli mata uang rusak dilakukan dengan cara uang rusak dibeli dari pemiliknya dengan nilai setengah harga. Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, tulisan ini memberikan kesimpulan bahwa hukum jual beli mata uang rusak dianalogikan (qiyas) pada hukum al-Sharf. Jual beli mata uang rusak dengan kelebihan pembayaran diperbolehkan untuk mata uang berbeda jenis dan ilat-nya sama, yaitu sebagai pembayaran dan dilakukan secara tunai. Hal ini berlaku untuk mata uang berbeda jenis, seperti dolar dengan rupiah, euro dengan rupiah, real dengan rupiah dan sen dengan rupiah. Sementara jual beli mata uang rusak di mana pemilik hanya mendapat penggantian dari setengahnya, maka hal ini tidak dibolehkan. Alasannya, praktik tersebut tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan oleh pemilik uang rusak dalam mencari uang, dan belum memenuhi syarat jual beli mata uang berdasarkan konsep al-Sharf. Pada dasarnya, mata uang rusak -terutama yang memiliki tingkat kerusakan maksimal 67% ukuran fisik dari aslinya- masih memiliki fungsi uang secara sah, dan masih memiliki nilai ekstrinsiknya. Hal ini dibuktikan dengan adanya penerimaan yang sama nilainya, jika uang tersebut ditukarkan ke bank. Oleh karena itu, adanya tambahan keuntungan dalam praktik jual beli uang rusak, merupakan suatu tambahan keuntungan yang tidak diperbolehkan dalam Islam.